Sabtu, 11 Agustus 2012

Harus Ada Standar Gaji Guru Honor

 JUMAIN SULAIMAN/FAJAR
Dr Sulistiyo 

JIKA berbicara tentang guru, maka hal paling pertama yang disoal adalah kesejahteraan guru honorer, pola rekrutmen, sampai pada distribusi pendidik di berbagai  daerah. Di beberapa wilayah, guru honorer dipekerjakan penuh waktu, namun gajinya sangat minim. Bagaimana Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyikapi berbagai persoalan ini? Berikut petikan wawancara wartawan FAJAR, Hasbi Zainuddin, dengan Ketua Umum PB PGRI, Dr Sulistiyo, di Hotel Grand Clarion Makassar, Kamis 28 Juni.

 

Menurut Anda, apa persoalan paling krusial yang dialami guru saat ini?

Banyak persoalan. Di antaranya, kekurangan guru Sekolah Dasar (SD), ketimpangan distribusi untuk guru SMP dan SMA, sampai persoalan gaji guru honorer yang minim. Padahal, banyak dari mereka yang bekerja maksimal layaknya guru tetap.

Untuk SD, kami menemukan kekurangan guru yang jumlahnya sangat besar. Dari semua provinsi yang pernah kami kunjungi, tidak ada Sekolah Dasar yang cukup guru tetapnya.

Berapa jumlah guru SD yang kurang?

Kita masih sementara menghitung. Jumlah kekurangan guru sedang dikumpulkan pengurus PGRI di masing-masing provinsi. Namun, saya bisa gambarkan, kekurangannya itu bervariasi. Untuk SD di kota-kota, kekurangannya relatif kecil. Sekitar enam banding lima. Maksudnya, enam kelas, tapi cuma lima guru tetapnya.

Di beberapa kabupaten, guru tetap di sekolah-sekolah itu jumlahnya sekitar empat banding enam. Ada yang bahkan hanya tiga.

Bagaimana sekolah mengisi kekosongan itu?

Banyak sekolah yang terpaksa mempekerjakan tenaga honorer, dengan jam kerja layaknya guru tetap. Guru honorer bekerja full mengisi semua jam pelajaran, dan menjadi wali kelas. Padahal, honornya sangat sedikit. Ada yang bahkan hanya menerima Rp200 ribu per bulan. Ini memprihatinkan.

Bukankah itu timpang?

Iya, guru honorer selama ini mendapat tugas yang sama dengan guru negeri, namun tidak mendapat perhatian dari pemerintah, baik dari sisi kepegawaian, kesejahteraan dan perlindungan. Secara kepegawaian, honorer ini tidak diberi jenjang kepangkatan, tidak diberi status jelas. Mereka juga tidak diberikan pelatihan.

Selain itu, belum ada standardisasi gaji untuk tenaga honorer, seperti halnya Standar Upah Minimum yang diberlakukan untuk tenaga kerja di perusahaan-perusahaan.

Apa yang ditempuh PGRI untuk mengatasi minimnya gaji guru honorer ini?

Dalam Rakorpimnas (Rapat Koordinasi Pimpinan Nasional) PGRI, kita merancang beberapa rekomendasi. Salah satunya adalah penetapan standar penghasilan minimal bagi guru, termasuk swasta.

Khusus swasta, standar penghasilan minimal ini penting, karena honorer-honorer di sana itu tidak diakui oleh Permenpan. Dalam Permenpan Nomor 6 tanun 2009, penilaian kinerja itu hanya untuk pegawai di sekolah negeri. Padahal, mereka itu juga anak Republik Indonesia yang punya hak memeroleh penghasilan yang layak. Peraturan itu hanya mengakomodasi tenaga honorer di instansi negeri.

Bagaimana perkembangannya?

Kita sedang membahas besaran standar penghasilan minimal guru honorer. Mungkin sekitar Rp1 juta. Sekarang regulasinya sementara digodok di DPR, melalui draft Peraturan Pemerintah tentang Pegawai Tidak Tetap.

Dalam Undang-undang Sisdiknas, sebenarnya sudah ada disebutkan tentang hak pegawai tidak tetap untuk mendapat upah yang wajar. Tinggal merumuskan nilai nominal standar penghasilan tersebut, dalam peraturan pemerintah tentang pegawai tidak tetap itu. Kita usulkan, selain ditanggung sekolahnya, gaji itu juga disubsidi oleh pemerintah. Misalnya, untuk satu juga guru honorer, setiap satu orang disubsidi APBN sebesar Rp500 ribu. Pemerintah pusat siapkan Rp6 triliun. Itu nilai yang tidak besar, bila dibandingkan anggaran-anggaran yang dikorupsi oknum pemerintah.

Apa sikap PGRI jika usulan itu tidak diakomodasi?

Jika sampai tahun 2013, standar minimal gaji tersebut belum ditetapkan, PGRI akan melakukan gerakan organisasi melindungi guru. Pasalnya, saya melihat, pihak kementerian, baik itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maupun Kementerian Pendidikan Agama, belum memberi sinyal untuk mengakomodasi itu.

Anda melihat distribusi guru SMP dan SMA belum optimal. Apa masalahnya?

Kami melihat pemetaan guru untuk tingkat SMP dan SMA tidak berjalan dengan baik. Terkadang ada guru yang bertumpuk gurunya, tapi di sekolah lain, justru kurang. Selain itu, ada sekolah yang minim guru untuk mata pelajaran tertentu, sedangkan di mata pelajaran lain, gurunya lebih. Fakta ini menunjukkan, pola rekrutmen guru ternyata tidak berdasar. Mengapa mengangkat guru yang tidak dibutuhkan?

Apa penyebabnya?

Dari berbagai informasi yang masuk, sejak otonomi daerah, pengangkatan guru selalu diwarnai dengan nepotisme. Banyak guru diangkat, tapi sebenarnya tidak dibutuhkan. Mereka diangkat karena mungkin kerabat tim sukses pejabat di daerah tersebut. Pengangkatan guru yang tak berdasar, dan tak mengikuti standar rekrutmen ini menghasilkan guru yang kurang berkualitas.

Apa langkah yang ditempuh untuk mengatasi masalah ini?

Kita sedang mengusulkan uji kompetensi guru, dan pembinaan yang maksimal baik secara karier, maupun profesi. Kalau kita bandingkan dengan beberapa negara, Singapura misalnya. Setiap guru di sana wajib mengikuti pendidikan 100 jam setiap tahun. Di Indonesia, ada guru yang sampai pensiun tidak pernah dilatih.

Soal uji kompetensi, bukankah sudah ada sertifikasi guru?

Uji kompetensi bukan berarti sertifikasi. Serfitikasi itu hanya menguji dengan memeriksa portofolio (dokumen-dokumen), dan sertifikat PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Uji kompetensi, berguna untuk pemetaan kompetensi guru.

Anggaran pendidikan selama ini dinilai masih minim, dan lebih banyak untuk infrastruktur pendidikan. Menurut Anda?

Anggaran untuk pendidikan kita tampak besar, yaitu 20 persen dari APBN. Sayangnya, penggunaan dana itu kurang dimaksimalkan. Aturan tentang anggaran pendidikan 20 persen APBN dan APBD juga masih kurang dipahami beberapa daerah. Cara pengalokasian yang dilakukan beberapa daerah adalah, dana 20 persen itu diambil dari APBN, dan sangat sedikit dana yang dikeluarkan dari APBD. Selain itu, dana 20 persen itu ikut digunakan utnuk gaji dan tunjangan guru, sehingga sangat sedikit alokasi untuk memajukan kualitas pendidikan.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar